Senin, 18 Juni 2012

makalah individu


KATA PENGANTAR



Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Mahakuasa yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya dengan judul Permasalahan Sosial di kawasan Barito Beserta Solusinya.
Makalah ini berisi tentang masalah sosial yang terjadi dikawasan Jalan Barito, yang tentunya terdapat di lingkungan sekitar kita dan dapat kita amati.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.









Semarang, 28 Mei 2012




Penyusun
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………………………………………….. 2
·          Kritik………………………………………………………………………………………………………………………. 7

 

 

 








BAB I

PENDAHULUAN


Wacana perdebatan tentang persoalan pokok pembangunan daerah perkotaan dalam konteks teori-teori studi pembangunan terus mengalami perkembangan. Persoalan seperti ini pada dasarnya sudah mncul sejak abad 19 dan hingga saan ini masih terus diperdebatkan, seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di perkotaan yang disebabkan oleh adanya urbanisasi penduduk dari pinggiran ke kota (Nurmandi, 1999 : 3-4). Kota-kota besar seperti Kota Semarang, misalnya dalam 10 tahun terakhir ini memperlihatkan adanya kecenderungan terus mengalami pertambahan jumlah penduduk. Berdasarkan data Semarang dalam rangkamemperlihatkan bahwa untuk tahun 1989 jumlah penduduk di Kota Semarang adalah sebesar 1.126.265 jiwa dan terus mengalami peningkatan menjadi 1.290.159 jiwa pada tahun 1999 atau mengalami pertumbuhan sebesar 12,70%. Dengan data tersebut menjadi salah satu faktor utama yang mendorong terjadinya peningkatan jumlah penduduk di Kota Semarang adalah arus pendatang atau urbanisasi dari daerah sekitar Kota Semarang. Diperkirakan peningkatan jumlah penduduk di tahun-tahun mendatang akan terus mengalami perkembangan. Hingga tahun 1998, Jumlah arus pendatang yang memasuki Kota Semarang sudah mencapai 47.194 jiwa. Apabila dibandingkan dengan data tahun 1989 dimana jumlah pendatang yang masuk ke Kota Semarang hanya mencapai 28.125 jiwa, terjadi peningkatan sebesar 40,41%. Dengan demikian akan menimbulkan munculnya persoalan baru.
Menurut Kartasasmita (1996 : 417-420), salah satu persoalan pokok berkaitan dengan tidak tertatanya kondisi tata ruang kota adalah terjadinya transformasi ekonomi dan demografi. Sebagai contoh fungsi-fungsi hamparan sungai sebagai saluran drainase sekarang ini fungsinya telah beralih menjadi pemukiman sehingga pada wilayah tertentu terjadi banjir yang selanjutnya berdampak pada munculnya persoalan kesehatan dan persoalan lainnya.

BAB II

PEMBAHASAN


Berawal ketika Pemerintah Kota Semarang memindahkan beberapa PKL dari kawasan Stasiun Tawang, Jalan Sendowo, dan Jalan Kartini pada awal tahun 80-an. Beberapa PKL tersebut dipindahkan ke tempat yang dianggap tidak terlalu mengganggu lalu lintas kendaraan. Maka dipilihlah Jalan Barito sebagai tempat perpindahan tersebut. Saat itu Jalan Barito masih berupa jalan kampung yang belum beraspal dan tidak begitu banyak kendaraan yang lewat di jalan tersebut. Namun seiring dengan perkembangan pembangunan di Kota Semarang, maka PKL yang ada semakin bertambah banyak. Apalagi setelah Jalan Barito diaspal dan menjadi jalan alternatif (jalan kolektor sekunder) yang menghubungkan Jalan Brigjend Katamso dengan Jalan Kaligawe.
Hingga sampai saat ini perkembangan itu telah menjadikan Jalan Barito sebagai ikon bagi Kota Semarang sebagai kawasan perdagangan suku cadang otomotif dan barang hasil industri kecil untuk rumah tangga. Menurut data survei dari Dinas pasar Kota Semarang, diperoleh angka transaksi dari tiap pedagang yang cukup besar, pendapatan per hari pedagang di Kawasan ini bisa mencapai lebih dari Rp. 1.000.000,00. dari jumlah tersebut, pedagang mendapatkan keuntungan sebesar 10%. Dengan jumlah pedagang yang tercatat hingga tahun 2004 mencapai 776 pedagang, maka jumlah peredaran uang yang terjadi di Kawasan Barito tidak bisa dianggap remeh.
Dari perkembangan tersebut, ternyata Kawasan Barito ini menyimpan masalah yang cukup rumit, mulai dari perubahan fungsi dan definisi pedagang yang menempatinya, lalu munculnya masalah ketidaknyamanan pengguna Jalan Barito, penetapan tarif pajak dan retribusi bagi pedagang, serta masalah bangunan yang terletak persis di bantaran Sungai Banjir Kanal Timur.
Gejala sosial lain yang timbul adalah masalah kesemrawutan yang timbul akibat dari belum dilakukannya penataan kawasan yang terencana dengan matang. Penempatan lahan parkir yang berada tepat di tepi jalan, bahkan sampai memakan badan jalan, menjadi masalah utama bagi kelancaran arus lalu lintas yang ada di jalan tersebut. Pembedaan antara lahan parkir dan tempat perbaikan kendaraan pun tidak begitu jelas. Keduanya diletakkan tepat di tepi jalan utama (Jalan Barito). Kendaraan yang parkir bisa juga merupakan kendaraan yang sedang diperbaiki. Hal lain adalah penempatan barang dagangan yang berukuran cukup besar, seperti gardan mobil, pipa-pipa besi, drum, ban bekas, dll. Keberadaan barang-barang ini yang hanya ditumpuk didepan kios-kios yang ada, menjadikan kondisi kawasan ini semakin terlihat kotor dan tidak teratur. Tidak adanya jalur pejalan kaki yang jelas, membuat lokasi depan toko dengan mudah dijadikan sebagai gudang sekaligus juga sebagai tempat memajang barang dagangan.
Pergeseran kondisi bangunan PKL kawasan Barito yang dahulu dimaksudkan hanya sebagai pedagang dengan tempat berjualan yang tidak permanen (bongkar pasang) menjadi pedagang dengan bangunan permanen (kios). Membuat Pemerintah Kota Semarang setidaknya harus menetapkan Perda lain yang disesuaikan dengan kondisi yang berkembang di Kawasan ini. Jika tidak, maka akan timbul kerancuan dalam penetapan nilai objek pajak serta besaran retribusi yang akan dikenakan pada pedagang. Pedagang yang sekarang ada, seharusnya tidak lagi berstastus sebagai Pedagang Kaki Lima (PKL). PKL selama ini hanya diwajibkan membayar retribusi pemakaian kekayaan daerah sesuai dengan Perda No. 13 tahun 1998 yang digolongkan dalam klasifikasi A, B, dan C. Retribusi pemakaian kekayaan daerah adalah pungutan daerah yang selanjutnya disebut retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pelayanan yang khusus disediakan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan pribadi/badan. Dari hal tersebut terlihat bahwa selama bertahun-tahun Pemerintah Kota Semarang hanya mendapat pemasukan dari retribusi PKL, sedangkan dari bangunan permanen yang ditempati oleh PKL, tidak ada pemasukan sama sekali, baik dari pajak bangunan, pajak penjualan, pajak pembelian dan jenis pajak lain yang seharusnya dibebankan pada pedagang dengan lokasi yang menetap.
Hal yang bertentangan inilah yang sekarang ini menimbulkan polemik tentang bagaimana menata Kawasan Barito. Secara hukum, kawasan ini resmi diperuntukkan bagi perkembangan PKL di Kota Semarang. Akan tetapi, kondisi bangunan yang ada di sepanjang tanggul Sungai Banjir Kanal Timur bertentangan dengan peraturan daerah yang berlaku. Dengan alasan keamanan, kenyamanan dan lain-lain, pedagang lebih memilih bangunan permanen sebagai tempat usaha. Oleh karena itu, perlu perencanaan secara bertahap dan berkesinambungan dengan memadukan unsur perdagangan, dan fungsi utilitas drainase kota sehingga teratur dan layak jual, serta bermanfaat bagi semua pihak.

 
















BAB III

PENUTUP

·        Saran

Kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan untuk menanggulangi maslah tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Pembaharuan Perda bagi kawasan Barito, dan pemberlakuannya;
2.      Mengurangi urbanisasi, demi terciptanya kesejahteraan;
3.      Mengembalikan fungsi banjirkanal timur sesuai rencana seperti yang dibuat oleh Pemerintah Kolonial Belanda, dan menghubungkan saluran drainase kota langsung ke laut Jawa;
4.      Memfungsikan banjirkanal sebagai saluran buangan drainase kota saja, sedangkan untuk air larian yang menyebabkan banjir dari Kabupaten Demak dan Semarang atas bagian timur dialihkan ke saluran Dombo-Sayung;
5.      Memperluas fungsi banjirkanal, yaitu sebagai saluran banjir dari daerah atas serta sebagai saluran drainase kota serta mengalihkan sebagian air larian yang menyebabkan banjir ke saluran Dombo-Sayung.
·        Kritik
Seharusnya pemerintah berlaku tegas dalam permasalahan ini, sehingga tidak timbul masalah-masalah baru.
Tidak hanya pemerintah yang ambil bagian dalam masalah ini, ini adalah masalah bersama perlu diselesaikan bersama pula.

 


DAFTAR PUSTAKA


---------------. 2004. Mengurai Banjir Semarang (1), Suara Merdeka, 27 Nopember 2004.
Bintoro, R. 1983. Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya. Ghalia Indonesia; hal 35-58.
Bruce Mitchell, B. Setyawan, Dwita H.R.. 2007. Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Hadi, Sudharto P.. 2005. Dimensi Lingkungan Perencanaan Pembangunan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Mulyo, Muji. 2002. Profil Tingkat Sosial Ekonomi Masyarakat Sasaran Program Pemukiman Kembali. Tesis program pascasarjana program studi Magister Studi Pembangunan Universitas Kristen Satya Wacana.
Rathna. 2009. “Retrospeksi Implementasi Perencanaan Banjirkanal Timur, Semarang dari Sudut Pandang Lingkungan” dalam http://pdasblogger.blogspot.com. Diunduh Rabu, 4 Januari 2012.
Rukardi. 2008. Kembalikan Fungsi Banjirkanal. Majalah Tempo, 20 November.














1 komentar:

  1. Makalahnya bagus untuk referensi
    Kunjungi ittelkom-sby.ac.id

    BalasHapus