Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Mahakuasa
yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya
dengan judul “Permasalahan Sosial di
kawasan Barito Beserta Solusinya”.
Makalah ini berisi tentang masalah sosial yang terjadi
dikawasan Jalan Barito, yang tentunya terdapat di lingkungan sekitar kita dan
dapat kita amati.
Kami menyadari bahwa
makalah ini masih
jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang
bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak
yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.
Semarang, 28 Mei 2012
Penyusun
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………………………………………….. 2
·
Kritik……………………………………………………………………………………………………………………….
7
Wacana perdebatan tentang persoalan
pokok pembangunan daerah perkotaan dalam konteks teori-teori studi pembangunan
terus mengalami perkembangan. Persoalan seperti ini pada dasarnya sudah mncul
sejak abad 19 dan hingga saan ini masih terus diperdebatkan, seiring dengan
bertambahnya jumlah penduduk di perkotaan yang disebabkan oleh adanya
urbanisasi penduduk dari pinggiran ke kota (Nurmandi, 1999 : 3-4). Kota-kota
besar seperti Kota Semarang, misalnya dalam 10 tahun terakhir ini
memperlihatkan adanya kecenderungan terus mengalami pertambahan jumlah
penduduk. Berdasarkan data Semarang dalam rangkamemperlihatkan bahwa untuk
tahun 1989 jumlah penduduk di Kota Semarang adalah sebesar 1.126.265 jiwa dan
terus mengalami peningkatan menjadi 1.290.159 jiwa pada tahun 1999 atau
mengalami pertumbuhan sebesar 12,70%. Dengan data tersebut menjadi salah satu
faktor utama yang mendorong terjadinya peningkatan jumlah penduduk di Kota
Semarang adalah arus pendatang atau urbanisasi dari daerah sekitar Kota
Semarang. Diperkirakan peningkatan jumlah penduduk di tahun-tahun mendatang
akan terus mengalami perkembangan. Hingga tahun 1998, Jumlah arus pendatang
yang memasuki Kota Semarang sudah mencapai 47.194 jiwa. Apabila dibandingkan dengan
data tahun 1989 dimana jumlah pendatang yang masuk ke Kota Semarang hanya
mencapai 28.125 jiwa, terjadi peningkatan sebesar 40,41%. Dengan demikian akan
menimbulkan munculnya persoalan baru.
Menurut Kartasasmita (1996 :
417-420), salah satu persoalan pokok berkaitan dengan tidak tertatanya kondisi
tata ruang kota adalah terjadinya transformasi ekonomi dan demografi. Sebagai
contoh fungsi-fungsi hamparan sungai sebagai saluran drainase sekarang ini
fungsinya telah beralih menjadi pemukiman sehingga pada wilayah tertentu
terjadi banjir yang selanjutnya berdampak pada munculnya persoalan kesehatan
dan persoalan lainnya.
Berawal ketika Pemerintah Kota Semarang memindahkan
beberapa PKL dari kawasan Stasiun Tawang, Jalan Sendowo, dan Jalan Kartini pada
awal tahun 80-an. Beberapa PKL tersebut dipindahkan ke tempat yang dianggap
tidak terlalu mengganggu lalu lintas kendaraan. Maka dipilihlah Jalan Barito
sebagai tempat perpindahan tersebut. Saat itu Jalan Barito masih berupa jalan
kampung yang belum beraspal dan tidak begitu banyak kendaraan yang lewat di
jalan tersebut. Namun seiring dengan perkembangan pembangunan di Kota Semarang,
maka PKL yang ada semakin bertambah banyak. Apalagi setelah Jalan Barito
diaspal dan menjadi jalan alternatif (jalan kolektor sekunder) yang
menghubungkan Jalan Brigjend Katamso dengan Jalan Kaligawe.
Hingga sampai saat ini perkembangan itu telah
menjadikan Jalan Barito sebagai ikon bagi Kota Semarang sebagai kawasan
perdagangan suku cadang otomotif dan barang hasil industri kecil untuk rumah
tangga. Menurut data survei dari Dinas pasar Kota Semarang, diperoleh angka
transaksi dari tiap pedagang yang cukup besar, pendapatan per hari pedagang di
Kawasan ini bisa mencapai lebih dari Rp. 1.000.000,00. dari jumlah tersebut,
pedagang mendapatkan keuntungan sebesar 10%. Dengan jumlah pedagang yang
tercatat hingga tahun 2004 mencapai 776 pedagang, maka jumlah peredaran uang
yang terjadi di Kawasan Barito tidak bisa dianggap remeh.
Dari perkembangan tersebut, ternyata Kawasan Barito
ini menyimpan masalah yang cukup rumit, mulai dari perubahan fungsi dan
definisi pedagang yang menempatinya, lalu munculnya masalah ketidaknyamanan
pengguna Jalan Barito, penetapan tarif pajak dan retribusi bagi pedagang, serta
masalah bangunan yang terletak persis di bantaran Sungai Banjir Kanal Timur.
Gejala sosial lain yang timbul adalah masalah
kesemrawutan yang timbul akibat dari belum dilakukannya penataan kawasan yang
terencana dengan matang. Penempatan lahan parkir yang berada tepat di tepi jalan,
bahkan sampai memakan badan jalan, menjadi masalah utama bagi kelancaran arus
lalu lintas yang ada di jalan tersebut. Pembedaan antara lahan parkir dan
tempat perbaikan kendaraan pun tidak begitu jelas. Keduanya diletakkan tepat di
tepi jalan utama (Jalan Barito). Kendaraan yang parkir bisa juga merupakan
kendaraan yang sedang diperbaiki. Hal lain adalah penempatan barang dagangan
yang berukuran cukup besar, seperti gardan mobil, pipa-pipa besi, drum, ban
bekas, dll. Keberadaan barang-barang ini yang hanya ditumpuk didepan kios-kios
yang ada, menjadikan kondisi kawasan ini semakin terlihat kotor dan tidak
teratur. Tidak adanya jalur pejalan kaki yang jelas, membuat lokasi depan toko
dengan mudah dijadikan sebagai gudang sekaligus juga sebagai tempat memajang
barang dagangan.
Pergeseran kondisi bangunan PKL kawasan Barito yang
dahulu dimaksudkan hanya sebagai pedagang dengan tempat berjualan yang tidak
permanen (bongkar pasang) menjadi pedagang dengan bangunan permanen (kios).
Membuat Pemerintah Kota Semarang setidaknya harus menetapkan Perda lain yang
disesuaikan dengan kondisi yang berkembang di Kawasan ini. Jika tidak, maka
akan timbul kerancuan dalam penetapan nilai objek pajak serta besaran retribusi
yang akan dikenakan pada pedagang. Pedagang yang sekarang ada, seharusnya tidak
lagi berstastus sebagai Pedagang Kaki Lima (PKL). PKL selama ini hanya
diwajibkan membayar retribusi pemakaian kekayaan daerah sesuai dengan Perda No.
13 tahun 1998 yang digolongkan dalam klasifikasi A, B, dan C. Retribusi pemakaian
kekayaan daerah adalah pungutan daerah yang selanjutnya disebut retribusi
adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pelayanan yang khusus
disediakan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan pribadi/badan. Dari hal
tersebut terlihat bahwa selama bertahun-tahun Pemerintah Kota Semarang hanya
mendapat pemasukan dari retribusi PKL, sedangkan dari bangunan permanen yang
ditempati oleh PKL, tidak ada pemasukan sama sekali, baik dari pajak bangunan,
pajak penjualan, pajak pembelian dan jenis pajak lain yang seharusnya
dibebankan pada pedagang dengan lokasi yang menetap.
Hal yang bertentangan inilah yang sekarang ini
menimbulkan polemik tentang bagaimana menata Kawasan Barito. Secara hukum,
kawasan ini resmi diperuntukkan bagi perkembangan PKL di Kota Semarang. Akan
tetapi, kondisi bangunan yang ada di sepanjang tanggul Sungai Banjir Kanal
Timur bertentangan dengan peraturan daerah yang berlaku. Dengan alasan
keamanan, kenyamanan dan lain-lain, pedagang lebih memilih bangunan permanen
sebagai tempat usaha. Oleh karena itu, perlu perencanaan secara bertahap dan
berkesinambungan dengan memadukan unsur perdagangan, dan fungsi utilitas
drainase kota sehingga teratur dan layak jual, serta bermanfaat bagi semua
pihak.
Kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan untuk
menanggulangi maslah tersebut adalah sebagai berikut :
1. Pembaharuan Perda bagi kawasan
Barito, dan pemberlakuannya;
2. Mengurangi urbanisasi, demi
terciptanya kesejahteraan;
3. Mengembalikan fungsi banjirkanal
timur sesuai rencana seperti yang dibuat oleh Pemerintah Kolonial Belanda, dan
menghubungkan saluran drainase kota langsung ke laut Jawa;
4. Memfungsikan banjirkanal sebagai
saluran buangan drainase kota saja, sedangkan untuk air larian yang menyebabkan
banjir dari Kabupaten Demak dan Semarang atas bagian timur dialihkan ke saluran
Dombo-Sayung;
5. Memperluas fungsi banjirkanal, yaitu
sebagai saluran banjir dari daerah atas serta sebagai saluran drainase kota
serta mengalihkan sebagian air larian yang menyebabkan banjir ke saluran
Dombo-Sayung.
·
Kritik
Seharusnya pemerintah berlaku tegas dalam permasalahan ini,
sehingga tidak timbul masalah-masalah baru.
Tidak hanya pemerintah yang ambil bagian dalam masalah ini,
ini adalah masalah bersama perlu diselesaikan bersama pula.
---------------. 2004. Mengurai
Banjir Semarang (1), Suara Merdeka, 27 Nopember 2004.
Bintoro, R. 1983. Interaksi
Desa-Kota dan Permasalahannya. Ghalia Indonesia; hal 35-58.
Bruce Mitchell, B. Setyawan, Dwita
H.R.. 2007. Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
Hadi, Sudharto P.. 2005. Dimensi
Lingkungan Perencanaan Pembangunan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Mulyo,
Muji. 2002. Profil Tingkat Sosial Ekonomi
Masyarakat Sasaran Program Pemukiman Kembali. Tesis program pascasarjana
program studi Magister Studi Pembangunan Universitas Kristen Satya Wacana.
Rathna. 2009.
“Retrospeksi Implementasi Perencanaan Banjirkanal Timur, Semarang dari Sudut
Pandang Lingkungan” dalam http://pdasblogger.blogspot.com. Diunduh Rabu,
4 Januari 2012.
Rukardi. 2008. Kembalikan Fungsi Banjirkanal. Majalah
Tempo, 20 November.